Nilai Keabsahan Hukum

Satjipto Rahardjo: Hukum Hendaknya Mampu Menciptakan Kebahagiaan.

Senin, 13 Juni 2011

Pengantar Hukum Acara Tata Usaha Negara

Pengantar Hukum Acara Tata Usaha Negara

Oleh Ade adhari FH Undip 2009 
Pada awal perkuliahan, ada 3 hal yang dibahas sebagai awal/pengantar dalam  mempelajari hukum acara peradilan tata usaha negara. 3 hal tersebut anatara lain:
1.      mengenai latar belakang hadirnya PTUN;
2.      fungsi PTUN;
3.      mengapa PTUN baru hadir di Indonesia ditahun 1986?

Ad. 1. Latar Belakang Hadirnya PTUN
Pada dasarnya dalam wilayah sebuah negara terbagi atas 2 (dua) wilayah kekuasaan yakni kekuasaan

pemerintah dan warga negara (metode pendekatan organisasi). Bahwa suatu negara diasumsikan sebagai suatu organisasi, dimana didalamnya ada wilayah yang merupakan kewenangan pemerintah dan ada wilayah yang merupakan kewenangan warga negara. Kewenangan tersebut menentukan bagaimana harus bertindak baik pemerintah maupun warga negara.

Dalam sejarah Hukum Administrasi Negara (HAN) ada proses perkembangan bagaimana negara menata dan menjalankan pemerintahan yakni:
1.      Konsep Negara Absolute [1]
Konsep negara absolute dapat ditemukan pada masa Louis XV. Dimana pada konsep negara absolute “ negara adalah saya, semua dikuasai oleh raja, hukumnya totaliter artinya hukum yang dibuat raja itulah hukum yang harus diterapkan. Kemudian terjadi Revolusi Perancis yang akhirnya mengeser keberadaan kosep negara absolutisme yang kemudian timbul konsep negara penjaga malam.
2.      Konsep Negara Penjaga Malam (Nacht wakerstate)
Pada konsep negara penjaga malam, negara tugasnya hanya menjaga keamanan. Negara tidak boleh mengurusi urusan pribadi/privaat rakyatnya, melainkan negara hanya boleh bertindak apabila ada serangan dari luar. Pada intinya negara hanya bersifat statis dalam wilayah kekuasaannya yakni hanya sebatas bagaimana menciptakan dan menjaga keamanan negara. Konkritnya contoh kecil yang dapat dikemukakan adalah siskamling, disini negara fungsinya sama dengan siskamling yakni menjaga keamanan lingkungannya dalam konteks negara yang dijaga adalah keamanan negara. Sampai kemudian terjadi revolusi inggris dan ditambah lagi konsep negara penjaga malam ini semakin banyak ditinggalkan yang kemudian memunculkan konsep welfarestate.
3.      Konsep Negara Kesejahteraan (Welfarestate/Negara Hukum Modern)
Dalam konsep negara kesejahteraan, tugas dan fungsi negara disini bukan hanya untuk menjaga keamanan dan ketertiban akan tetapi lebih dari pada itu yakni tugas dan fungsi negara disini yakni bagaimana menciptakan kesejahteraan rakyat/umum, artinya disini pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Konsekuensinya disini negara tidak bertindak pasif melainkan aktif dengan segala upayanya dalam menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Perkembangan konsep dalam menata negara tersebut menimbulkan konsekuensi logis yang melatarbelakangi hadirnya PTUN. Perkembangan menata negara absolut ke negara penjaga malam tidak memberikan dampak yang berarti untuk keberadaan PTUN, akan tetapi sebaliknya perkembangan konsep menata negara dari negara penjaga malam (nacht wakerstate) ke negara kesejahteraan (welfarestate) memberikan implikasi yang sangat luas terhadap hadirnya PTUN.

Pada konsep negara kesejahteraan, pemerintah harus bersifat bestuur zorg artinya dalam hal ini pemerintah diberikan kebebasan bertindak yang dikenal dengan freies ermessen. Kebebasan bertindak yang dimiliki pemerintah tadi memperkuat posisi pemerintah sebagai pemangku sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat yang untuk itu pemerintah banyak melakukan intervensi tehadap hal-hal yang bersifat private sekalipun. Hal yang membuktikan bahwa suatu negara sebagai penganut konsep negara kesejahteraan yakni dapat kita ambil contoh sebagai berikut:
-          Dalam hal terjadi bencana alam
Konsep Nacht wakerstate, maka negara akan bertindak statis karena tugasnya hanya menjaga keamanan, dan bencana alam diluar dari masalah keamanan sehingga negara akan diam saja, disini intervensinya hanya sebatas menjaga keamanan tidak kepada hal-hal diluar itu. Sementara bila negara tersebut menganut konsep negara kesejahteraan maka dengan freies ermessen yang dimiliknya maka negara akan bersifat aktif dalam menanggulangi bencana alam tersebut agar tidak mengganggu tugas dan fungsi negara dalam mengupayakan tercapainya kesejahteraan rakyat.

Singkat kata ada dua hal yang melatarbelakangi hadirnya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) antara lain:
1.      Perubahan konsep menata negara dari negara penjaga malam ke negara kesejahteraan yang membawa implikasi secara luas dalam hal ini pemerintah bertindak aktif mengurusi hal-hal yang bersifat private warga negaranya;
2.      Kebebasan bertindak yang dimliki oleh pemerintah sebagai penganut konsep negara kesejahteraan berdampak bagi semakin intensifnya pemerintah dalam melakukan intervensi terhadap kehidupan warganegaranya baik dalam ranah publik maupun private.
Dimana kedua hal tersebut diatas memungkinkan terjadinya pergesekan atau terjadi perbuatan melawan hukum pemerintah (onrechtmatige overheids daad) yang menimbulkan kerugian bagi warga negara, yang dalam hukumadministrasi negara perbuatan melawan hukum oleh pemerintah tadi yang bersifat merugikan bagi rakyat seketika itu juga menerbitkan hak menggugat kepada rakyat atas perbuatan melawan hukum pemerintah tersebut.

Ad. 2. Fungsi PTUN
Fungsi PTUN yakni menyelesaikan persolan-persoalan hukum yang terjadi antara pemerintah dan warga negara. Dimana persoalan hukum ini timbul karena adanya perubahan konsep negara nacht wakerstate ke welfarestate yang menghendaki pemerintah untuk melakukan intervensi (turut campur) dalam upaya mensejahterakan rakyat dan untuk itu memungkinkan terjadinya perbuatan melawan hukum pemerintah yang seketika itu juga menerbitkan hak menggugat dari warga negara yang merasa kepentingannya dirugikan.
Ad. 3. Kenapa PTUN baru ada di Indonesia ditahun 1986?
Pada dasarnya lahirnya PTUN didasrkan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. PTUN baru hadir pada tahun 1986 karena sebelum tahun 1986 masalah tindakan pemerintah yang merugikan warga negara diadili, diperiksa dan diputus oleh Peradilan Umum, ini dikarenakan pada saat itu jumlah gugatan perbuatan melawan hukum pemerintah yang seharusnya menjadi kewenangan PTUN jumlahnya masih sedikit. Baru pada tahun 1986 dibentuk PTUN untuk mengadili sengketa hukum tersebut yang jumlahnya dirasa semakin banyak, untuk itu dipandang perlu ada peradilan khusus yang menangani sengketa tersebut yakni PTUN.



Perbuatan Melawan Hukum
Seperti kita ketahui latar belakang adanya PTUN yakni adanya perbuatan melawan hukum oleh pemerintah (onrechmatige overheids daad). Perbuatan melawan hukum terbagi atas dua jenis yakni:
1.      Perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige daad),
Perbuatan melawan hukum artinya bahwa dalam hal ini yang dijadikan ukurun untuk adanya perbuatan melawan hukum yakni mencakup hukum dalam arti luas yakni baik tertulis maupun tidak tertulis. Hukum tertulis contohnya Undang-undang, sedangkan hukum tertulis contohnya kebiasaan, adat istiadat dsb.

2.      Perbuatan melawan undang-undang (Onwetmatige daad)
Untuk dapat dikatakan ada perbuatan melawan undang-undang patokannya hanya “ada ketentuan undang-undang (wet) yang dilanggar. Sehingga perbuatan melawan undang-undang lebih sempit dari perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum oleh pemerintah dapat terjadi dalam bidang private yang dalam hal ini hukum perdata yang dilanggar, dan dapat pula terjadi dalam didang publik dalam hal ini ketentuan hukum publik yang dilanggar. Perbuatan melawan hukum pemerintah dalam bidang hukum publik baru dapat di adili dengan dasar PMH setelah adanya kasus osterman pada tahun 1924, dimana keputusan Hogeraad tertanggal 20 Nopember 1924 merupakan awal yang menandakan bahwa tindakan pengusa setelah tahun 1924 dapat diadili atas dasar PMH oleh pemerintah, karena sebelum tahun 1924 tindakan penguasa tidak dapat dipersalahkan, selalu lepas dari tuntutan atas dasar PMHdan tindakan penguasa dipandang sebagai sebagai suatu kebijakan pemerintah.
Jalur Gugatan
Pada dasarnya penyelesaian sengketa TUN dapat diselesaikan melalui 2 (dua) jalur yakni:
1.      Jalur administratif yang dapat melalui upaya keberatan dan banding administratif
-          Upaya keberatan
Penyelesaian sengketa TUN melalui upaya keberatan administratif diselesaikan  oleh pejabat/ badan yang mengeluarkan Keputusan TUN tersebut.
-          Upaya banding administratif
Peneyelesaian sengketa TUN melalui prosedur administratif dalam hal ini sengketa tersebut diselesaikan oleh pejabat/instansi atasan atau instansi lain dari pejabat atau badan yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan.

2.      Jalur pengajuan gugatan melalui PTUN[2]
Jalan terakhir penyelesain sengketa TUN adalah melalui pengajuan gugatan ke PTUN. Mengapa dikatakan terakhir? Karena bila kita mengacu pada ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN jelas dihendaki agar penyelesaian sengketa TUN diusahakan terlebih dahulu melalui penyelesaian secara adminstratif sebagaimana disebutkan diatas yakni dapat melalui upaya keberatan atau melalui banding admnistratif. Lebih lanjut bila kita perhatikan ketentuan Pasal 48 ayat (2) jelas dapat dikatakan bahwa kewenangan PTUN untuk menyelesaikan sengketa TUN tidak serta merta timbul, karena PTUN baru berwenang apabila seluruh upaya administratif untuk penyelesaian sengketa TUN telah dilakukan oleh yang bersangkutan.
Barulah setelah upaya administartif telah dilakukan dan belum terdapat penyelesaian maka warga negara ataupun badan hukum private tersebut dapat mengajukan gugatan ke PTUN dengan mendasarkan pada Pasal 53 UU PTUN, yakni dengan mengajukan gugatan secara tertulis kepada PTUN yang berwenang, gugatan tersebut berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi, serta alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, sebagimana dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, adapun asas-asas tersebut yakni:
-          Kepastian hukum;
-          Tertib penyelenggara negara;
-          Keterbukaan;
-          Proporsionalitas;
-          Profesionalitas;
-          Akuntabilitas. [3]
Sejarah Berdirinya Pengadilan TUN
Bila dirunut sejarah berdirinya Pengadilan TUN dapat dibagi dalam dua zaman, yakni:
1.      Zaman Kolonial
Pada zaman ini berdirinya Pengadilan TUN didasrkan atas:
-          Ketentuan Pasal 134 I.S. (Indische Staats Reglement); dan
-          Pasal 2 R.O. (Reglement op de Rechtelijk Organisatie en Het Beleid der Justitie).
2.      Zaman Kemerdekaan
Di zaman setelah kemerdekaan berdirinya Pengadilan TUN didasarkan atas:
-          UUD 1945 tepatnya Pasal 24;
-          UU No. 19 Tahun 1948, Pasal 66;
-          UUDS 1950, Pasal 108;
-          Tap MPRS No. II/MPRS/1960;
-          UU No. 19 Tahun 1964;
-          UU No. 4 Tahun 2004 Pasal 10 yang kemudian diganti oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
-          UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN jo. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN;
-          UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA.
Pengadilan TUN Indonesia
*      Dasar hukum TUN:
-          Filsafat/ teori hukum:
a.       Bahwa hadirnya Pengadilan TUN adalah sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM);
b.      Sebagai bentuk pemisahan kekuasaan;
c.       Didasarkan bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum;
d.      Adanya lembaga TUN.
*      Hukum positip, terhadap keberadaab Pengadilan TUN Indonesia:
a.       UUD Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 24;
b.      UU No. 4 Tahun 2004 Pasal 10, yang telah diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
c.       UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN jo. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN jo. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN;
d.      UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA jo. UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA.


Tujuan Adanya PTUN

Tujuan adanya PTUN antara
lain:
1.      Prinsip negara kesejahteraan
PTUN hadir sebagai bagian dari prinsip negara kesejahteraan, dimana PTUN sebagai bentuk perlindungan bagi rakyat terhadap perbuatan melawan hukum pemerintah akibat intervensi pemerintah yang luas sebagai konsekuensi konsep negara kesejahteraan yang dianut negara, dimana memungkinkan negara untuk masuk baik dalam wilayah publik maupun private warga negaranya.
2.      Frekuensi hubungan meningkat
Dengan banyaknya intervensi yang dilakukan pemerintah terhadap kehidupan warga negaranya berdampak pada meningkatnya frekuensi hubungan antara warganegara dengan pemerintah
3.      Terjadinya friksi
4.      Perlindungan hukum
PTUN sebagai jalan untuk perlindungan hukum bagi warga negara terhadap perbuatan melawan hukum pemerintah yang merugikan warga negara.
5.      Keselarasan/keseimbangan hak dan kewajiban
PTUN hadir ditujukan untuk menselaraskan antara hak dan kewajiban yang dimiliki pemerintah dan warga negara.

Syarat PTUN
Syarat untuk adanya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Ada aturan hukum yang abstrak yang bersifat umum;
Aturan hukum yang bersifat abstrak yang bersifat umum misalnya KUHP, dalam pasal KUHP ada kata-kata “barang siapa”, kata tersebut menunjukan sesuatu yang masih bersifat abstrak, dan KUHP pun berlaku umum artinya berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia dengan kata lain tidak bersifat individual.
2.      Adanya perselisihan hukum yang konkrit;
Syarat PTUN yang kedua yakni harus benar-benar ada perselisihan yang konkrit diantara subjek hukum, misalnya sengketa TUN mengenai keputusan pembongkaran rumah A yang dikeluarkan oleh Pemda Semarang.
3.      Minimal ada dua pihak;
Disini mutlak minimal ada dua pihak yang berselisih, yakni ada orang/badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan atas terbitnya KTUN dengan Pejabat TUN.
4.      Salah satu pihak adalah pejabat TUN;
Bahwa salah satu pihak dalam sengketa TUN jelas salah satu pihaknya yakni pejabat TUN, karena dalam hal ini yang disengketakan adalah KTUN yang tentunya dibuat oleh pejabat TUN. Sehingga secara otomatis salah satu pihat dalam sengketa TUN yakni pejabat TUN itu sendiri.
5.      Hukumnya adalah hukum publik;
PTUN adalah sebuah peradilan yang berwenang mengadili, memeriksa dan memutus sengketa TUN, sehingga otomatis hukumnya adalah hukum publik bukan hukum private karena disini yang disengketaakan adalah dalam ranah hukum publik yakni sengketa akibat diterbitkannya KTUN yang dirasa merugikan dan sengketa bidang kepegawaian, dimana kedua sengketa tersebut melibatkan Pejabat TUN dengan Warga negara (orang/badan hukum perdata).

Kewenangan PTUN

Kewenangan PTUN adalah sebagai berikut:
1.      Kewenangan Umum,
Kewenangan PTUN yang bersifat umum ini yakni bahwa PTUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN (Pasal 47 UU PTUN).  Dimana sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan/pejabat TUN, baik ditingkat pusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986/Pasal 1 angka 10 dalam UU No. 51 Tahun2009). Sedangkan Keputusan TUN (KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986/Pasal 1 angka 9 dalam UU No. 51 Tahun 2009). Sehingga jelas bahwa PTUN memilki kewenangan yang bersifat umum yakni bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN, yang timbul akibat diterbitkannya KTUN oleh pejabat TUN (konkrit, individual dan final) dan keputusan TUN menurut ketentuan Pasal sebagaimana disebutkan diatas adalah suatu penetapan tertulis, akan tetapi ada pengecualian yang diatur dalam Pasal 3 UU PTUN yang pada intinya menyatakan KTUN juga mencakup keputusan fiktif atau negatif, karena dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “ apabila badab atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
2.      Kewenangan Khusus
PTUN memiliki kewenangan yang bersifat khusus yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 50, 51 UU PTUN dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 3 Tahun 2009  tentang MA.

Pembatasan Kewenangan PTUN
                                                   
Pembatasan kewenangan PTUN meliputi:
1.      Pembatasan Langsung
Pembatasan langsung kewenangan PTUN diatur dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004, Pasal 49 UU PTUN dan dalam ketentuan tentang sengketa dilingkungan peradilan militer.
Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa “tidak termasuk dalam pengertian KTUN menurut undang-undang ini:
1.      KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2.      KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3.      KTUN yang masih memerlukan persetujuan;
4.      KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5.      KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6.      KTUN mengenai tata usaha TNI;
7.      Keputusan KPU baik ditingkat pusat maupun didaerah mengenai hasil pemilihan umum.
Sedangkan pembatasab langsung kewenangan PTUN yang diatur dalam Pasal 49 yakni “ Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN tertentu dalam hal keputusan itu dikeluarkan:
a.       Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.      Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Pembatasan tidak langsung,
Diatur dalam Pasal 48 jo. Pasal 51 UU PTUN. Pasal 48 pada intinya menyatakan bahwa kewenangan PTUN untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN baru muncul setelah seluruh upaya adminstratif untuk menyelesaikan sengketa tersebut telah dilakukan oleh yang bersangkutan.
3.      Pembatasan langsung yang bersifat sementara
Pembatasan ini bersifat sementara lantaran telah tidak belaku sejalan dengan berjalannya waktu, ketentuan pembatasan langsung yang bersifat sementara ini diatur dalam Pasal 142 UU PTUN.

Kekhususan PTUN

Ada kekhususan yang dimiliki PTUN yang tidak dimiliki peradilan lain diantaranya yaitu:
1.      Adanya Tenggang Waktu
PTUN menegatur mengenai jangka waktu pengajuan gugatan sengketa TUN yakni sembilan puluh hari terhitung sejak diterimanya KTUN (Pasal 55 UU PTUN). Hal ini berbeda dengan Peradilan Acara Perdata yang tidak mengatur jangka waktu pengajuan gugatan.
2.      Hakim Aktif (dominis litis)
Dalam hukum acara PTUN menganut prinsip hakim aktif, hakim aktif membantu pihak yang lemah yakni warga negara, dimana aktif terhadap isi gugatan. Prinsip hakim aktif dapat kita ketemukan dalam Pasal 62 dan 63 UU PTUN. Berbeda dengan hukum acara perdata yang juga menganut prinsip hakim aktif tapi bukan terhadap isi gugatan akan tetapi aktif terhadap proses pemeriksaan perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 119, 121, 122 HIR dst.
3.      Adanya prosedur dismissal (terdapat dalam Pasal 62 UU PTUN)
Dalam PTUN ada yang namanya prosedur dismissal, yakni Ketua Pengadilan berwenang menolak gugatan yang diajukan dengan suatu penetapan dengan disertai pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar dalam hal:
a.       Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;
b.      Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan;
c.       Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d.      Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh KTUN yang digugat;
e.       Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
4.      Adanya asas presumtio justae causa
Asas ini dapat kita temukan pada Pasal 67 UU PTUN, yang pada intinya asas ini menekankan bahwa “ Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang digugat harus tetap dianggap benar meskipun digugat sampai ada putusan yang menyatakan sebaliknya.
5.      Tidak mengenal adanya rekonvensi
Rekonvensi artinya gugat balik, dan dalam PTUN tidak dimungkinkan adanya gugat balik, karena tidak mungkin Pejabat TUN menggugat Keputusan TUN yang ia keluarkan sendiri. berbeda halnya dengan hukum acara perdata yang mengenal adanya rekonvensi/gugat balik.



Masalah Gugatan

Masalah gugatan antara lain:
1.      Persiapan Gugatan, meliputi:
a.       Pokok sengketa (Pasal 1 angka 1), bahwa sengketa harus dalam bidang Tata Usaha Negara sebagaiman disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU PTUN.
b.      Para pihak (Pasal 1 angka 4),  minimal ada dua pihak sebagaiman disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 yakni para pihak disini antara orang/badan hukum perdata dengan badan/pejabat TUN.
c.       Objek gugatan ( Pasal 1 angka 3 jo. Pasal 3), bahwa objek gugatan yakni Keputusan TUN yang dikeluarkan oleh Pejabat TUN, bersifat Konkrit, Individual dan final, merugikan dan menimbulkan akibat hukum, dan termasuk pengertian keputusan disini yaitu kepeutusan negatif/fiktif.
d.      Tenggang waktu (Pasal 55)
Tenggang waktu pengajuan gugatan yakni 90 terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya KTUN.
e.       Pengadilan yang berwenang (Pasal 47)
Artinya bahwa sengketa tersebut benar-benar merupakan tugas dan kewenangan PTUN untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya.
2.      Pengajuan Gugatan
Mengenai pengajuan gugatan dalam PTUN diatur dala pasal 53, 54, 56, dan 57-61 UU PTUN. Berikut adalah ketentuannya:
a.       Pasal 53 “Tata cara pengajuan gugatan”
Pada intinya mengatur bahwa baik orang/badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan, maka dapat mengajukan gugatan secara tertulis kepada pengadilan yang berwenang, berisi tuntutan agar KTUN yang disengketakan dinyatakan batal/tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Adapaun alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau Keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, sebagimana dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, adapun asas-asas tersebut yakni:
-          Kepastian hukum;
-          Tertib penyelenggara negara;
-          Keterbukaan;
-          Proporsionalitas;
-          Profesionalitas;
-          Akuntabilitas. [4]
b.      Pasal 54
Pasal tersebut mengatur mengenai dipengadilan PTUN yang mana gugatan harus diajukan oleh penggugat. Pada intinya gugatan diajukan pada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak diketahui maka gugatan diajukan pada Pengadilan yang masuk wilayah hukum tempat penggugat.  Bila kedua belah pihak berada diluar negeri maka gugatan diajukan pada Pengadilan di Jakarta.
c.       Pasal 56 “Syarat surat gugatan”
Syarat gugatan meliputi, bahwa gugatan memuat identitas para pihak (penggugat dan tergugat),  dasar gugatag dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan dan gugatan tersebut ditanda-tangani oleh penggugat, dalam hal gugatan dibuat dan ditanda tangani  oleh seorang kuasa maka gugatan tersebut harus disertai surat kuasa.selain itu sedapat mungkin juga disertai KTUN yang disengketakan.
d.      Pasal 57-61
Mengatur hal-hal antara lain:
-          Para pihak dapat diwakili oleh seorang/lebih kuasa(Pasal 57);
-          Oral debat artinya hakim dapat memerintahkan agar pihak yang bersengketa datang meghadap sendiri ke muka sidang (Pasal 58);
-          Prinsip membayar artinya penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir panitera (Pasal 59);
-          Prodeo, penggugat dapat beracra secara Cuma-Cuma dengan melampirkan SKTM ( Pasal 60);
-          Permohonan prodeo diperiksa dan ditetapkan oleh pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa, berlaku pula di tingkat banding dan  kasasi (Pasal 61).
3.      Proses Pemeriksaan
Proses pemeriksaan meliputi:
a.       Pemeriksaan internal (Pasal 62)
Pemeriksaan internal juga dikenal dengan rapat permusyawaratan. Pada tahap ini dikenal adanya dismissal poses, tujuannya yakni untuk memperkuat posisi penggugat, serta agar hemat biaya, waktu dan tenaga pengugat. Disini pun dikenal asas hakim aktif (dominis litis). Pada tahap pemeriksaan internal Ketua Pengadilan berwenang menolak gugatan yang diajukan dengan suatu penetapan dengan disertai pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar dalam hal:
a.       Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;
b.      Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan;
c.       Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d.      Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh KTUN yang digugat;
e.       Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Penetapan tersebut diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan dengan memanggil kedua belah pihak dengan surat tercatat oleh paitera pengadilan. Terhadap penetapan tersebut dapat dupayakan upaya perlawanan dalam tenggang waktu 14 hari setelah penetapan diucapkan, dan perlawanan akan diperiksa dan diputus dengan acara singkat yakni singkat waktunya, putusan cepat dan oleh hakim tunggal. Apabila perlawanan dibenarkan maka penetapan gugur demi hukum dan perkara akan diperiksa dengan acara biasa.
b.      Pemeriksaan gugatan (Pasal 63-69)
Pemeriksaan gugatan meliputi:
Bahwa sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas, dalam artian hakim wajib memberi nasihat kepada penggugat untum memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari serta hakim dapat meminta penjelasan kepada badan/pejabat TUN yang bersangkutan. Apabila dalam waktu 30 hari penggugat belum menyempurnakan gugatannya maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima (NO), dan terhadap putusan tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum melainkan dapat diajukan gugatan baru.





[1]  Konsep negara absolutisme sebagai salah satu konsep menata negara saya ambil dari catatan perkuliahan Pengantar Hukum Indonesia (PHI) dimana Prof. Yos selaku dosen pengampu mata kuliah tersebut  pada semester 1
[2] Penyelesaian sengketa TUN melalui jalur pengajuan gugatan baru dapat dilakukan setelah seluruh upaya administratif telah dilakukan oleh pihak yang bersangkuatan, hal ini dapat dipahami dari ketentuan Pasal 48 UU PTUN.
[3] Dapat dilihat pada penjelasan Pasal 53 UU No. 9  Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
[4] Dapat dilihat pada penjelasan Pasal 53 UU No. 9  Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN

2 komentar: